Tuesday 1 August 2017

Principais Forex Menurut Islam


Forex menurut Hukum Islão Banyak perbedaan pendapat tentang forex itu sendiri, ada yang mengatakan tidak boleh, tetapi ada juga yang mengatakan boleh. Dibawah ini adalah pendapat yang membolehkan dari beberapa sumber tentang forex itu sendiri (sedan unid yang tidak membolehkan forex itui sendiri, silahkan search di Google). Fit4global. wordpress hanya membro wacana, dan hanya fokus ke riset ilmiah tentang pergerakan forex. Fit4global. wordpress memang didedikasikan untuk meriset secara logika dan ilmiah tentang pergerakan forex baik teknikal maupun fundamental. Sebagian umat islão ada yang meragukan kehalalan praktik perdagangan berjangka. Bagaimana menurut padangan para pakar Islão Apa pendapat para ulama mengenai negociação forex, negociação saham, índice de negociação, saham, dan komoditi Apakah Hukum Forex Trading Valas Halal Menurut Hukum Islã Mari kita ikuti selengkapnya. Jangan engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu, sabda Nabi Muhammad VI, dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah. Oleh sementara fuqaha (ahli fiqih Islam), hadits tersebut ditafsirkan secara saklek. Pokoknya, setiap praktik, jual, beli, yang, tidak, ada, barangnya, pada, waktu, akad, haram. Penafsiran secara demikian itu, tak pelak lagi, membuat fiqih islão sulit untuk memenuhi tuntutan jaman eang terus berkembang dengan perubahan-perubahannya. Karena itu, sejumlah ulama klasik yang terkenal dengan pemikiran cemerlangnya, menentang cara penasiran yang terkesan sempit tersebut. Misalnya, Ibn al-Qayyim. Ulama bermazhab Hambali no berpendapat, bahwa tidak benar jual-beli barang yang tidak ada dilarang. Baik dalam Al Quran, sunnah maupun fatwa para sahabat, larangan itu tidak ada. Dalam Sunnah Nabi, hanya terdapat, larangan, menjual, barang, yang, belum, ada, sebagaimana, larangan, beberang, barang, yang, sudah, ada, pada, waktu, akad. Causa legis atau ilat larangan tersebut bukan ada atau tidak adanya barang, melainkan garar, ujar Dr. Syamsul Anwar, MA dari IAIN Suka Yogyakarta menjelaskan pendapat Ibn al-Qayyim. Garar adalah ketidakpastian tentang apaká barang yang diperjual-belikan itu dapat diserahkan atau tidak. Misalnya, seseorang menjual unta yang hilang. Atau menjual barang milang orang lain, padahal tidak dibi kewenangan oleh yang bersangkutan. Jadi, meskipun pada waktu, akad barangnya, tidak ada, namun ada, kepastian diadakan, pada waktu, diperlukan, sehingga, bisa, diserahkan, kepada, pembeli, maka, jual, beli, tersebut sah. Sebaliknya, kendati, barangnya, sudah, ada, karena, satu dan, lain, hal, tidak, mungkin, diserahkan, kepada, pembeli, maka jual, beli, itu, tidak sah. Perdagangan berjangka, jelas, bukan garar. Sebab, dalam kontrak berjangkanya, jenis komoditi yang dijual-belikan sudah ditantukan. Begitu juga dengan jumlah, mutu, tempat dan waktu penyerahannya. Semanga berjalan di atas aturan resmi yang ketat, sebagai antisipasi terjadinya praktek penyimpangan berupa penipuan satu hal yang sebetulnya bisa juga terjadi pada praktik jua-beli konvensional. Dalam perspektif hukum Islão, Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) (foral adalah bagian dari PBK) dapat dimasukkan dalam kategori almasail almuashirah atau masala-masala hukum Islam kontemporer. Karena itu, estado hukumnya dapat dikategorikan kepada masalah ijtihadiyyah. Klasifikasi ijtihadiyyah masuk ke dalam wilayah fi ma la nasha fih, yakni masalah hukum e yang tidak mempunyai referensi nash hukum yang pasti. Dalam kategori masalah hukum al-Sahrastani, ia termasuk ke dalam paradigma al-nushush qad intahat wa al-waqaI la tatanahi. Artinya, nash hukum dalam bentuk Al-Quran dan Sunnah sudah selesai tidak lagi ada tambahan. Dengan demikian, kasus-kasus hukum, yang baru, muncul, mesti, diberikan, kepastian, hukumnya, melalui, ijtihad. Dalam kasus hukum PBK, ijtihad dapat merujuk kepada teori perubahan hukum yang diperkenalkan oleh Ibn Qoyyim al-Jauziyyah. Ia menjelaskan, fatwa hukum dapat berubá karena beberapa variabel perubahnya, yakni: waktu, tempat, niat, tujuan dan manfaat. Teori perubahan hukum ini diturunkan dari paradigma ilmu hukum dari gurunya Ibn Taimiyyah, yang menyatakan bahwa a-haqiqah fi al-ayan la fi al-adzhan. Artinya, kebenaran hukum itu dijumpai dalam kenyataan empirik bukan dalam alam pemikiran idéia de atau alam. Paradigma ini diturunkan dari prinsip hukum Islão tentang keadilan yang dalam Al-Quran digunakan istilah al-mizan, um-qisth, al-wasth, dan al-adl. Dalam penerapannya, secara khusus masala PBK dapat dimasukkan ke dalam bidang kajian fiqh al-siyasah maliyyah, yakni politik hukum kebendaan. Dengan kata lain, PBK termasuk kajian hukum Islão dalam pengertian bagaimana hukum Islão diterapkan dalam masala kepemilikan atas harta benda, melalui perdagangan berjangka komoditi dalam era globalisasi dan perdagangan bebas. Realisasi yang pálido mungkin dalam rangka melindungi pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan berjangka komoditi dalam ruang dan waktu serta pertimbangan tujuan dan manfaatnya dewasa ini, sejalan dengan semangat dan bunyi UU No. 32/1977 tentang PBK. Karena teori perubahan hukum seperti dijelaskan di atas, dapat menunjukkan elasticidade hukum Islam dalam kelembagaan praktek perekonomian, maka PBK dalam sistem hukum islam dapat dianalogikan dengan bay al-salamajl biajil. Baía al-salam dapat diartikan sebagai berikut. Al-salam atau al-salaf baía adalah ajl biajil, yakni memperjualbelikan sesuatu yang dengan ketentuan sifat-sifatnya yang terjamin kebenarannya. Di dalam transaksi demikian, penyerahan ras al-mal dalam bentuk uang sebagai nilai tukar didahulukan daripada penyerahan komoditi yang dimaksud dalam transaksi itu. Ulama Syafiiyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan: Akad atas komoditas jual beli eang diberi sifat terjamin yang ditangguhkan (berjangka) dengan harga jual yang ditetapkan di dalam bursa akad. Keabsahan transaksi jual, beli berjangka, ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat sebagai berikut: a) Rukun sebagai unsur-unsur utama yang harus ada dalam suatu peristiwa transaksi Unsur-unsur utama di dalam bay al-salam adalah: Pihak-pihak pelaku transaksi (aqid) Yang disebut dengan istilah muçulmano atau muçulmano ilaih. Objek transaksi (maqud alaih), yaitu barang-barang komoditi berjangka de harga tukar (ras al-mal al-salam, al-muslim fih). Kalimat transaksi (Sighat aqad), yaitu ijab dan kabul. Yang perlu diperhatikan dari unsur-unsur tersebut, adalah bahwa ijab dan qabul dinyatakan dalam bahasa dan kalimat yang jelas menunjukkan transaksi berjangka. Karena itu, ulama Syafiiyah menekankan penggunaan istilah al-salam atau al-salaf di dalam kalimat-kalimat transaksi itu, dengan alasan bahwa aqd al-salam adalah baía al-madum dengan sifat dan cara berbeda dari akad jual dan beli (comprar). Persyaratan menyangkut objek transaksi, adalah: bahwa objek transakis harus memenuhi kejelasan mengenai: jenisnya (um yakun fi jinsin malumin), sifatnya, ukuran (kadar), jangka penyerahan, harga tukar, tempat penyerahan. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh harga tukar (al-tsaman), adala, Pertama, kejelasan jenis alat tukar, yaitu dirham, dinar, rupia atau dolar dsb atau barang-barang yang dapat ditimbang, disukat, dsb. Kedua, kejelasan jenis alat tukar apakah rupia, dolar Amerika, dolar Singapura, dst. Apakah, timbangan, yang, disepakati, dalam, bentuk, quilograma, lagoa, dst. Kejelasan tentang kualitas objek transaksi, apakah kualitas istimewa, baik sedang atau buruk. Syarat-syarat di atas ditetapkan dânga maksud menghilangkan jahalah fi al-aqd atau alasan ketidaktahuan kondisi-kondisi barang pada saat transaksi. Sebab hal ini akan mengakibatkan terjadinya perselisihan de antara pelaku transaksi, yang akan merusak nilai transaksi. Kejelasan jumlah harga tukar. Os utilizadores registados podem usar esta imagem como um editor de gramagem absortí na beira do avk. Kalaupun dalam pelaksanaannya masih ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, maka dapatlah digunakan kaidah hukum atau máxima legal yang berbunyi: ma yudrak kulluh la yutrak kulluh. Apa yang tidak dapat dilaksanakan semuanya, maka tidak perlu ditinggalkan keseluruhannya. Dengan demikian, hukum dan pelaksanaan PBK sampai batatas-batas tert-a-boleh dinyatakan dapat diterima atau setidak-tidaknya sesuai dengan semangat jiwa norma hukum Islam, dengan menganalogikan kepada bay al-salam. 1. Os Contratos Básicos de Câmbio Existe um consenso geral entre os juristas islâmicos de que as moedas de diferentes países podem ser trocadas numa base spot a uma taxa diferente da unidade, uma vez que as moedas de diferentes países são entidades distintas com valores diferentes ou valor intrínseco , E poder de compra. Também parece haver um acordo geral entre a maioria dos estudiosos sobre a opinião de que o câmbio a termo não é permitido, isto é, quando os direitos e obrigações de ambas as partes se relacionam com uma data futura. No entanto, existe uma considerável diferença de opinião entre os juristas quando os direitos de uma das partes, que é a mesma que a obrigação da contraparte, são adiados para uma data futura. Para elaborar, vamos considerar o exemplo de dois indivíduos A e B que pertencem a dois países diferentes, Índia e EUA, respectivamente. A pretende vender rupias indianas e comprar dólares dos EUA. O inverso é verdadeiro para B. A taxa de câmbio rupee-dólar acordada é de 1:20 ea transação envolve a compra e venda de 50. A primeira situação é que A faz um pagamento à vista de Rs1000 para B e aceita o pagamento de 50 de B. A transacção é liquidada numa base spot a partir de ambas as extremidades. Tais transações são válidas e Islamically permissíveis. Não há duas opiniões sobre o mesmo. A segunda possibilidade é que a liquidação da transação de ambas as extremidades seja adiada para uma data futura, digamos depois de seis meses a partir de agora. Isto implica que tanto A como B fariam e aceitariam o pagamento de Rs1000 ou 50, conforme o caso, após seis meses. A visão predominante é que tal contrato não é islâmicamente permitido. Uma visão minoritária a considera admissível. O terceiro cenário é que a transação é parcialmente liquidada a partir de uma única extremidade. Por exemplo, A faz um pagamento de Rs1000 agora para B em vez de uma promessa de B para pagar 50 para ele depois de seis meses. Alternativamente, A aceita 50 agora de B e promete pagar Rs1000 para ele depois de seis meses. Existem pontos de vista diametralmente opostos sobre a admissibilidade de tais contratos, que equivalem a bai-salam em moedas. O objetivo deste trabalho é apresentar uma análise abrangente de vários argumentos em apoio e contra a permissibilidade desses contratos básicos envolvendo moedas. A primeira forma de contratação envolvendo a troca de contravalores numa base pontual está além de qualquer tipo de controvérsia. A admissibilidade ou não do segundo tipo de contrato em que a entrega de um dos contravalores é diferida para uma data futura, é geralmente discutida no âmbito da riba proibição. Assim, discutiremos este contrato detalhadamente na seção 2 que trata da questão da proibição da riba. A admissibilidade da terceira forma de contrato em que a entrega de ambos os contravalores é diferida, é geralmente discutida no âmbito da redução do risco e incerteza ou gharar envolvidos nesses contratos. Este é, portanto, o tema central da seção 3 que trata da questão do gharar. Seção 4 tenta uma visão holística da Sharia relaciona questões como também o significado econômico das formas básicas de contratação no mercado de moeda. 2. A questão da proibição de Riba A divergência de pontos de vista1 sobre a permissibilidade ou não dos contratos de câmbio em moedas pode ser atribuída principalmente à questão da proibição riba. A necessidade de eliminar riba em todas as formas de contratos de câmbio é de extrema importância. Riba em seu contexto sharia é geralmente definido2 como um ganho ilícito derivado da desigualdade quantitativa dos contravalores em qualquer transação que pretenda efetuar a troca de duas ou mais espécies (anwa), que pertencem ao mesmo gênero (jins) e são governadas por A mesma causa eficiente (illa). Riba é geralmente classificada em riba al-fadl (excesso) e riba al-nasia (adiamento) que denotam uma vantagem ilegal por meio de excesso ou adiamento, respectivamente. A proibição do primeiro é alcançada por uma estipulação de que a taxa de troca entre os objetos é unidade e nenhum ganho é permissível a qualquer das partes. Este último tipo de riba é proibido por não permitir a liquidação diferida e garantir que a transação é liquidada no local por ambas as partes. Outra forma de riba é chamada de riba al-jahiliyya ou riba pré-islâmica que surge quando o credor pede ao mutuário na data de vencimento se este último liquidar a dívida ou aumentar a mesma. O aumento é acompanhado pela cobrança de juros sobre o montante inicialmente emprestado. A proibição de riba na troca de moedas pertencentes a diferentes países requer um processo de analogia (qiyas). E em qualquer exercício de analogia (qiyas), a causa eficiente (illa) desempenha um papel extremamente importante. É uma causa eficiente comum (illa), que conecta o objeto da analogia com o seu sujeito, no exercício do raciocínio analógico. A causa eficiente apropriada (illa) em caso de contratos de troca foi definida vària pelas escolas principais de Fiqh. Esta diferença reflecte-se no raciocínio análogo para moedas de papel pertencentes a diferentes países. Uma questão de significância considerável no processo de raciocínio análogo relaciona-se à comparação entre moedas de papel com ouro e prata. Nos primórdios do Islã, o ouro ea prata desempenhavam todas as funções do dinheiro (thaman). As moedas foram feitas de ouro e prata com um valor intrínseco conhecido (quantum de ouro ou prata contidos neles). Essas moedas são descritas como thaman haqiqi, ou naqdain na literatura Fiqh. Estes eram universalmente aceitáveis ​​como principal meio de troca, representando um grande pedaço de transações. Muitas outras commodities, tais como, vários metais inferiores também serviram como meio de troca, mas com aceitabilidade limitada. Estes são descritos como fals na literatura Fiqh. Estes também são conhecidos como thaman istalahi por causa do fato de que sua aceitabilidade não deriva de seu valor intrínseco, mas devido ao status concedido pela sociedade durante um determinado período de tempo. As duas formas acima mencionadas de moedas foram tratadas de forma muito diferente pelos primeiros juristas islâmicos do ponto de vista da permissibilidade dos contratos que os envolvem. A questão que necessita de ser resolvida é se as moedas correntes da idade presente se enquadram na primeira ou na segunda categoria. Uma visão é que estes devem ser tratados a par com thaman haqiqi ou ouro e prata, uma vez que estes servem como o principal meio de troca e unidade de conta como o último. Daí, por analogia raciocínio, todas as normas relacionadas com a Sharia e injunções aplicáveis ​​a thaman haqiqi também deve ser aplicável ao papel moeda. A troca de thaman haqiqi é conhecida como bai-sarf e, portanto, as transações em moedas de papel devem ser governadas pelas regras da Sharia relevantes para bai-sarf. A opinião contrária afirma que as moedas de papel devem ser tratadas de forma semelhante a fals ou thaman istalahi devido ao fato de que seu valor nominal é diferente de seu valor intrínseco. Sua aceitabilidade decorre de seu status legal dentro do país nacional ou importância econômica global (como no caso de dólares americanos, por exemplo). 2.1. Uma síntese de pontos de vista alternativos 2.1.1. A proibição de riba baseia-se na tradição de que o santo profeta disse: Vende ouro para ouro, prata para prata, trigo para trigo, cevada para cevada, data para a data, Sal para o sal, nas mesmas quantidades no local e quando as mercadorias são diferentes, vender como lhe convier, mas no ponto. Assim, a proibição de riba aplica-se primeiramente aos dois metais preciosos (ouro e prata) e a outras quatro mercadorias (trigo, cevada, tâmaras e sal). Aplica-se também, por analogia (qiyas) a todas as espécies que são governadas pela mesma causa eficiente (illa) ou que pertencem a qualquer um dos gêneros dos seis objetos citados na tradição. No entanto, não há um consenso geral entre as várias escolas de Fiqh e até mesmo estudiosos pertencentes à mesma escola sobre a definição e identificação de causa eficiente (illa) de riba. Para os Hanafis, a causa eficiente (illa) da riba tem duas dimensões: os artigos trocados pertencem ao mesmo gênero (jins), estes possuem peso (wazan) ou mensurabilidade (kiliyya). Se em uma determinada troca, ambos os elementos da causa eficiente (illa) estão presentes, isto é, os contravalores trocados pertencem ao mesmo gênero (jins) e são todos pesáveis ​​ou todos mensuráveis, então nenhum ganho é permitido (a taxa de câmbio deve Ser igual à unidade) ea troca deve ser em uma base spot. No caso do ouro e da prata, os dois elementos da causa eficiente (illa) são: unidade de gênero (jins) e peso. Esta é também a visão Hanbali de acordo com uma versão3. Assim, quando o ouro é trocado por ouro, ou a prata é trocada por prata, somente as transações no local sem qualquer ganho são permitidas. Também é possível que em uma dada troca, um dos dois elementos de causa eficiente (illa) esteja presente e o outro esteja ausente. Por exemplo, se os artigos trocados são todos pesáveis ​​ou mensuráveis, mas pertencem a gêneros diferentes (jins) ou, se os artigos trocados pertencem ao mesmo gênero (jins), mas nenhum deles é mensurável e pesável, então troque com ganho (a uma taxa diferente de Unidade) é permissível, mas a troca deve ser em uma base spot. Assim, quando o ouro é trocado por prata, a taxa pode ser diferente da unidade, mas nenhuma liquidação diferida é permitida. Se nenhum dos dois elementos de causa eficiente (illa) de riba estiver presente em uma dada troca, então nenhuma das injunções para riba proibição se aplica. O câmbio pode ocorrer com ou sem ganho e ambos em uma base pontual ou diferida. Considerando o caso de troca envolvendo moedas de papel pertencentes a diferentes países, a proibição riba exigiria uma busca de causa eficiente (illa). Moedas pertencentes a diferentes países são entidades claramente distintas que são moeda legal dentro de limites geográficos específicos com diferentes valores intrínsecos ou poder de compra. Por conseguinte, uma grande maioria dos estudiosos acertadamente afirmam que não há unidade de gênero (jins). Além disso, estes não são nem pesáveis ​​nem mensuráveis. Isso leva a uma conclusão direta de que nenhum dos dois elementos de causa eficiente (illa) de riba existe em tal troca. Assim, a troca pode ter lugar livre de qualquer injunção sobre a taxa de câmbio ea forma de liquidação. A lógica subjacente a esta posição não é difícil de compreender. O valor intrínseco das moedas de papel pertencentes a diferentes países difere, uma vez que estas têm poder de compra diferente. Além disso, o valor intrínseco ou valor de moedas de papel não pode ser identificado ou avaliado ao contrário de ouro e prata que pode ser pesado. Assim, nem a presença de riba al-fadl (por excesso), nem riba al-nasia (por adiamento) pode ser estabelecida. A escola Shafii de Fiqh considera a causa eficiente (illa) em caso de ouro e prata para ser sua propriedade de ser moeda (thamaniyya) ou o meio de troca, unidade de conta e armazenamento de valor. Este é também o Maliki view. De acordo com uma versão deste ponto de vista, mesmo que o papel ou o couro sejam feitos o meio da troca e seja dado o status da moeda corrente, a seguir todas as réguas que pertencem ao naqdain, ou ao ouro e à prata se aplicam a elas. Assim, de acordo com esta versão, a permuta envolvendo moedas de diferentes países a uma taxa diferente da unidade é permitida, mas deve ser liquidada numa base spot. Outra versão das duas escolas de pensamento acima é que a citada causa eficiente (illa) de ser moeda (thamaniyya) é específica do ouro e da prata, e não pode ser generalizada. Ou seja, qualquer outro objeto, se usado como meio de troca, não pode ser incluído em sua categoria. Portanto, de acordo com esta versão, as injunções da Sharia para a proibição riba não são aplicáveis ​​às moedas de papel. As moedas pertencentes a diferentes países podem ser trocadas com ou sem ganho e tanto em bases fixas como diferidas. Os defensores da versão anterior citam o caso da troca de moedas de papel pertencentes ao mesmo país em defesa da sua versão. A opinião consensual dos juristas neste caso é que tal troca deve ser sem qualquer ganho ou a uma taxa igual à unidade e deve ser liquidada numa base pontual. Se considerarmos o Hanafi ea primeira versão da posição Hanbali, então, neste caso, apenas uma dimensão da causa eficiente (illa) está presente, ou seja, eles pertencem ao mesmo gênero (jins ). Mas as moedas de papel não são nem pesáveis ​​nem mensuráveis. Assim, a lei Hanafi permitiria, aparentemente, a troca de quantidades diferentes da mesma moeda numa base pontual. Da mesma forma, se a causa eficiente de ser moeda (thamaniyya) é específica apenas para ouro e prata, então Shafii e Maliki lei também permitiria o mesmo. Escusado será dizer que isso equivale a permitir empréstimo e empréstimos baseados em riba. Isso mostra que, é a primeira versão do pensamento Shafii e Maliki que está subjacente à decisão de consenso de proibição de ganho e liquidação diferida em caso de troca de moedas pertencentes ao mesmo país. De acordo com os proponentes, estender essa lógica à troca de moedas de diferentes países implicaria que a troca com ganho ou a uma taxa diferente da unidade é permitida (já que não há unidade de jins), mas a liquidação deve ser feita numa base pontual. 2.1.2 Comparação entre Currency Exchange e Bai-Sarf Bai-sarf é definida na literatura Fiqh como uma troca envolvendo o thaman haqiqi, definido como ouro e prata, que serviu como principal meio de troca para quase todas as grandes transações. Os defensores da opinião de que qualquer troca de moedas de diferentes países é o mesmo que bai-sarf argumentam que na atualidade as moedas de papel substituíram efetiva e completamente o ouro e a prata como meio de troca. Assim, por analogia, a troca envolvendo tais moedas deve ser governada pelas mesmas regras da Sharia e injunções como bai-sarf. Argumenta-se também que, se a liquidação diferida por qualquer das partes no contrato é permitida, isso abriria as possibilidades de riba-al nasia. Os oponentes da categorização do câmbio de moeda com o bai-sarf no entanto assinalam que a troca de todas as formas de moeda (thaman) não pode ser denominada como bai-sarf. De acordo com este ponto de vista, bai-sarf implica a troca de moedas de ouro e prata (thaman haqiqi ou naqdain) e não de dinheiro pronunciado como tal pelas autoridades estatais (thaman istalahi). As moedas de idade presente são exemplos deste último tipo. Esses estudiosos encontram apoio nos escritos que afirmam que se as mercadorias de troca não são ouro ou prata (mesmo que uma delas seja ouro ou prata) então, a troca não pode ser denominada como bai-sarf. Tampouco seriam aplicáveis ​​a essas trocas as estipulações relativas ao bai-sarf. De acordo com o Imam Sarakhsi4, quando um indivíduo compra fals ou moedas feitas de metais inferiores, tais como, cobre (thaman istalahi) para dirhams (thaman haqiqi) e faz um pagamento à vista desta última, mas o vendedor não tem falsas naquele momento , Então tal troca é permissível. Tomar posse de mercadorias trocadas por ambas as partes não é uma condição prévia (enquanto que no caso de bai-sarf, é.) Existem várias referências semelhantes que indicam que os juristas não classificam uma troca de fals (thaman istalahi) por outro fals Thaman istalahi) ou ouro ou prata (thaman haqiqi), como bai-sarf. Assim, as trocas de moedas de dois países diferentes que só podem ser qualificadas como thaman istalahi não podem ser classificadas como bai-sarf. Também não pode ser imposta a essas transacções a restrição relativa à liquidação à vista. Deve-se notar aqui que a definição de bai-sarf é fornecida Fiqh literatura e não há menção do mesmo nas tradições sagradas. As tradições referem-se à riba, e a venda e compra de ouro e prata (naqdain), que pode ser uma importante fonte de riba, é descrita como bai-sarf pelos juristas islâmicos. Deve-se notar também que na literatura Fiqh, bai-sarf implica troca de ouro ou prata apenas se estes estão sendo usados ​​como meio de troca ou não. Intercâmbio envolvendo dinares e ornamentos de ouro, ambos de qualidade como bai-sarf. Vários juristas têm procurado esclarecer este ponto e definiram sarf como aquela troca em que ambas as mercadorias trocadas são na natureza de thaman, não necessariamente thaman eles mesmos. Assim, mesmo quando uma das mercadorias é ouro processado (digamos, ornamentos), tal troca é chamada bai-sarf. Os defensores do ponto de vista de que o câmbio de moeda deve ser tratado de forma semelhante ao bai-sarf também derivam o apoio de escritos de eminentes juristas islâmicos. De acordo com o Imam Ibn Taimiya, qualquer coisa que desempenhe as funções de meio de troca, unidade de conta e armazenamento de valor é chamado de thaman, (não necessariamente limitado a ouro e prata). Referências semelhantes estão disponíveis nos escritos do Imam Ghazzali5. Quanto às opiniões do Imam Sarakhshi sobre o intercâmbio envolvendo fals, de acordo com elas, alguns pontos adicionais precisam ser observados. Nos primeiros dias do Islã, dinares e dirhams feitos de ouro e prata foram utilizados principalmente como meio de troca em todas as grandes transações. Somente os menores foram assentados com fals. Em outras palavras, fals não possuía as características de dinheiro ou thamaniyya na íntegra e dificilmente era usado como armazém de valor ou unidade de conta e estava mais na natureza da mercadoria. Assim, não houve restrição na compra do mesmo para ouro e prata em uma base diferida. As moedas atuais do dia têm todas as características de thaman e são significadas ser thaman somente. O intercâmbio envolvendo moedas de diferentes países é o mesmo que bai-sarf com diferença de jins e, portanto, liquidação diferida levaria a riba al-nasia. O Dr. Mohamed Nejatullah Siddiqui ilustra esta possibilidade com um exemplo6. Ele escreve Em um dado momento no tempo quando a taxa de câmbio do mercado entre dólar e rupia é 1:20, se um indivíduo compra 50 na taxa de 1:22 (liquidação de sua obrigação em rúpias adiada para uma data futura), então É altamente provável que ele seja. Na verdade, o empréstimo Rs. 1000 agora em vez de uma promessa de reembolsar Rs. 1100 em uma data posterior especificada. (Uma vez que, ele pode obter Rs 1000 agora, trocando os 50 comprados em crédito à taxa de câmbio). Assim, sarf pode ser convertido em empréstimos com base em juros empréstimo empréstimo. 2.1.3 Definir Thamaniyya é a Chave Parece da síntese acima de pontos de vista alternativos que a questão-chave parece ser uma definição correta de thamaniyya. Por exemplo, uma questão fundamental que leva a posições divergentes sobre permissibilidade se relaciona com se o thamaniyya é específico ao ouro e à prata, ou pode ser associado a qualquer coisa que desempenhe as funções de dinheiro. Levantamos algumas questões abaixo que podem ser levadas em conta em qualquer exercício de reconsideração de posições alternativas. Deve ser apreciado que thamaniyya pode não ser absoluto e pode variar em graus. É verdade que as moedas de papel substituíram completamente o ouro ea prata como meio de troca, unidade de conta e armazenamento de valor. Nesse sentido, as moedas de papel podem ser ditas possuir thamaniyya. No entanto, isto é verdadeiro apenas para as moedas nacionais e pode não ser verdade para as moedas estrangeiras. Em outras palavras, rúpias indianas possuem thamaniyya dentro das fronteiras geográficas da Índia apenas, e não têm qualquer aceitabilidade nos EUA. Estes não podem ser ditos possuir thamaniyya em ESTADOS UNIDOS a menos que um cidadão dos EU possa usar rupias indianas como um meio da troca, ou a unidade da conta, ou a loja do valor. Na maioria dos casos tal possibilidade é remota. Esta possibilidade é também uma função do mecanismo de taxa de câmbio em vigor, como a conversibilidade de rupias indianas em dólares americanos e se existe um sistema de taxas de câmbio fixo ou flutuante. Por exemplo, assumindo a livre convertibilidade das rúpias indianas em dólares dos EUA e vice-versa, e um sistema de taxa de câmbio fixo no qual a taxa de câmbio rúpia-dólar não deve aumentar ou diminuir no futuro previsível, thamaniyya da rupia nos EUA é consideravelmente melhorada . O exemplo citado pelo Dr. Nejatullah Siddiqui também parece bastante robusto nas circunstâncias. A permissão para trocar rúpias por dólares em base diferida (de um lado, é claro) a uma taxa diferente da taxa à vista (taxa oficial que provavelmente permanecerá fixa até a data da liquidação) seria um caso claro de juros Empréstimos e empréstimos. No entanto, se a suposição de taxa de câmbio fixa é relaxada e o sistema atual de taxas de câmbio flutuantes e voláteis é assumido como o caso, então pode-se mostrar que o caso de riba al-nasia quebra. Nós reescrevemos seu exemplo: Num dado momento no tempo em que a taxa de câmbio do mercado entre dólar e rupia é 1:20, se um indivíduo compra 50 na taxa de 1:22 (liquidação de sua obrigação em rúpias adiada para uma data futura ), Então é altamente provável que ele é. Na verdade, o empréstimo Rs. 1000 agora em vez de uma promessa de reembolsar Rs. 1100 em uma data posterior especificada. (Uma vez que, ele pode obter Rs 1000 agora, trocando os 50 adquiridos a crédito à taxa de câmbio) Isso seria assim, apenas se o risco de moeda não existe (taxa de câmbio permanece em 1:20), ou é suportado pelo vendedor De dólares (o comprador paga em rupias e não em dólares). Se o primeiro for verdadeiro, então o vendedor dos dólares (credor) recebe um retorno predeterminado de dez por cento quando ele converte Rs1100 recebido na data de vencimento em 55 (a uma taxa de câmbio de 1:20). No entanto, se o último é verdade, então o retorno para o vendedor (ou o credor) não é predeterminado. Nem precisa ser positivo. Por exemplo, se a taxa de câmbio rúpia-dólar aumenta para 1:25, então o vendedor de dólar receberia apenas 44 (Rs 1100 convertido em dólares) para seu investimento de 50. Aqui dois pontos são dignos de nota. Em primeiro lugar, quando se assume um regime de taxa de câmbio fixa, a distinção entre moedas de diferentes países é diluída. A situação torna-se semelhante à troca de libras esterlinas (moedas pertencentes ao mesmo país) a uma taxa fixa. Em segundo lugar, quando se assume um sistema de taxas de câmbio volátil, então, da mesma forma que se pode visualizar o empréstimo através do mercado de moeda estrangeira (mecanismo sugerido no exemplo acima), também se pode visualizar o empréstimo através de qualquer outro mercado organizado (por exemplo, .) Se um substituir dólares para ações no exemplo acima, ele iria ler como: Em um dado momento no tempo quando o preço de mercado de ações X é Rs 20, se um indivíduo compra 50 ações à taxa de Rs 22 (liquidação de Sua obrigação em rupias adiada para uma data futura), então é altamente provável que ele é. Na verdade, o empréstimo Rs. 1000 agora em vez de uma promessa de reembolsar Rs. 1100 em uma data posterior especificada. (Desde então, ele pode obter Rs 1000 agora, trocando as 50 ações compradas a crédito ao preço atual) Neste caso também, como no exemplo anterior, os retornos ao vendedor de ações podem ser negativos se o preço das ações sobe para Rs 25 na liquidação encontro. Assim, assim como os retornos no mercado de ações ou no mercado de commodities são islâmicamente aceitáveis ​​por causa do risco de preço, os retornos também ocorrem no mercado de câmbio devido às flutuações nos preços das moedas. Uma característica única de thaman haqiqi ou ouro e prata é que o valor intrínseco da moeda é igual ao seu valor nominal. Assim, a questão dos diferentes limites geográficos dentro dos quais uma determinada moeda, como dinar ou dirham circula, é completamente irrelevante. O ouro é ouro se no país A ou país B. Assim, quando a moeda do país A feita de ouro é trocada por moeda do país B, também feita de ouro, então qualquer desvio da taxa de câmbio de unidade ou adiamento de liquidação por qualquer das partes Não pode ser permitida, uma vez que implicaria claramente riba al-fadl e também riba al-nasia. No entanto, quando as moedas de papel do país A são trocadas para o papel moeda do país B, o caso pode ser inteiramente diferente. O risco de preço (risco de taxa de câmbio), se positivo, eliminaria qualquer possibilidade de riba al-nasia na troca com liquidação diferida. No entanto, se o risco de preço (risco de taxa de câmbio) for zero, então tal troca poderia ser uma fonte de riba al-nasia se a liquidação diferida for permitida7. Outro ponto que merece séria consideração é a possibilidade de certas moedas poderem possuir thamaniyya, isto é, usado como meio de troca, unidade de conta ou armazenamento de valor globalmente, tanto dentro como fora do país. Por exemplo, o dólar americano é moeda legal dentro dos EUA também é aceitável como um meio de troca ou unidade de conta para um grande volume de transações em todo o mundo. Assim, esta moeda específica pode ser dito possuir thamaniyya globalmente, caso em que, os juristas podem impor as injunções relevantes sobre as trocas envolvendo esta moeda específica para prevenir riba al-nasia. O fato é que quando uma moeda possui thamaniyya globalmente, então as unidades econômicas que usam esta moeda global como meio de troca, unidade de conta ou armazenamento de valor podem não estar preocupadas com o risco decorrente da volatilidade das taxas de câmbio inter-país. Ao mesmo tempo, deve reconhecer-se que uma grande maioria das moedas não desempenham as funções de dinheiro, exceto dentro de suas fronteiras nacionais, quando estas são de curso legal. Riba e risco não podem coexistir no mesmo contrato. O ex connota uma possibilidade de retornos com risco zero e não pode ser obtido através de um mercado com risco de preço positivo. Como foi discutido acima, a possibilidade de riba al-fadl ou riba al-nasia pode surgir em troca quando ouro ou prata funcionam como thaman ou quando o câmbio envolve moedas de papel pertencentes ao mesmo país ou quando o câmbio envolve moedas de diferentes países Seguindo um sistema de taxas de câmbio fixas. A última possibilidade é talvez unIslamic8 desde que o preço ou a taxa de câmbio das moedas deve ser deixado flutuar livremente na linha das mudanças na demanda e no fornecimento e também porque os preços devem refletir o valor intrínseco ou poder de compra das moedas correntes. Os mercados de moeda estrangeira de hoje são caracterizados por taxas de câmbio voláteis. Os ganhos ou perdas realizados em qualquer transação em moedas de diferentes países são justificados pelo risco assumido pelas partes no contrato. 2.1.4. Possibilidade de Riba com futuros e forwards Até agora, discutimos pontos de vista sobre a permissibilidade do bai salam em moedas, ou seja, quando a obrigação de apenas uma das partes na troca é diferida. What are the views of scholars on deferment of obligations of both parties. Typical example of such contracts are forwards and futures9. According to a large majority of scholars, this is not permissible on various grounds, the most important being the element of risk and uncertainty (gharar) and the possibility of speculation of a kind which is not permissible. This is discussed in section 3. However, another ground for rejecting such contracts may be riba prohibition. In the preceding paragraph we have discussed that bai salam in currencies with fluctuating exchange rates can not be used to earn riba because of the presence of currency risk. It is possible to demonstrate that currency risk can be hedged or reduced to zero with another forward contract transacted simultaneously. And once risk is eliminated, the gain clearly would be riba. We modify and rewrite the same example: In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, an individual purchases 50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation in rupees deferred to a future date), and the seller of dollars also hedges his position by entering into a forward contract to sell Rs1100 to be received on the future date at a rate of 1:20, then it is highly probable that he is. in fact, borrowing Rs. 1000 now in lieu of a promise to repay Rs. 1100 on a specified later date. (Since, he can obtain Rs 1000 now, exchanging the 50 dollars purchased on credit at spot rate) The seller of the dollars (lender) receives a predetermined return of ten percent when he converts Rs1100 received on the maturity date into 55 dollars (at an exchange rate of 1:20) for his investment of 50 dollars irrespective of the market rate of exchange prevailing on the date of maturity. Another simple possible way to earn riba may even involve a spot transaction and a simultaneous forward transaction. For example, the individual in the above example purchases 50 on a spot basis at the rate of 1:20 and simultaneously enters into a forward contract with the same party to sell 50 at the rate of 1:21 after one month. In effect this implies that he is lending Rs1000 now to the seller of dollars for one month and earns an interest of Rs50 (he receives Rs1050 after one month. This is a typical buy-back or repo (repurchase) transaction so common in conventional banking.10 3. The Issue of Freedom from Gharar Gharar, unlike riba, does not have a consensus definition. In broad terms, it connotes risk and uncertainty. It is useful to view gharar as a continuum of risk and uncertainty wherein the extreme point of zero risk is the only point that is well-defined. Beyond this point, gharar becomes a variable and the gharar involved in a real life contract would lie somewhere on this continuum. Beyond a point on this continuum, risk and uncertainty or gharar becomes unacceptable11. Jurists have attempted to identify such situations involving forbidden gharar. A major factor that contributes to gharar is inadequate information (jahl) which increases uncertainty. This is when the terms of exchange, such as, price, objects of exchange, time of settlement etc. are not well-defined. Gharar is also defined in terms of settlement risk or the uncertainty surrounding delivery of the exchanged articles. Islamic scholars have identified the conditions which make a contract uncertain to the extent that it is forbidden. Each party to the contract must be clear as to the quantity, specification, price, time, and place of delivery of the contract. A contract, say, to sell fish in the river involves uncertainty about the subject of exchange, about its delivery, and hence, not Islamically permissible. The need to eliminate any element of uncertainty inherent in a contract is underscored by a number of traditions.12 An outcome of excessive gharar or uncertainty is that it leads to the possibility of speculation of a variety which is forbidden. Speculation in its worst form, is gambling. The holy Quran and the traditions of the holy prophet explicitly prohibit gains made from games of chance which involve unearned income. The term used for gambling is maisir which literally means getting something too easily, getting a profit without working for it. Apart from pure games of chance, the holy prophet also forbade actions which generated unearned incomes without much productive efforts.13 Here it may be noted that the term speculation has different connotations. It always involves an attempt to predict the future outcome of an event. But the process may or may not be backed by collection, analysis and interpretation of relevant information. The former case is very much in conformity with Islamic rationality. An Islamic economic unit is required to assume risk after making a proper assessment of risk with the help of information. All business decisions involve speculation in this sense. It is only in the absence of information or under conditions of excessive gharar or uncertainty that speculation is akin to a game of chance and is reprehensible. 3.2 Gharar amp Speculation with of Futures amp Forwards Considering the case of the basic exchange contracts highlighted in section 1, it may be noted that the third type of contract where settlement by both the parties is deferred to a future date is forbidden, according to a large majority of jurists on grounds of excessive gharar. Futures and forwards in currencies are examples of such contracts under which two parties become obliged to exchange currencies of two different countries at a known rate at the end of a known time period. For example, individuals A and B commit to exchange US dollars and Indian rupees at the rate of 1: 22 after one month. If the amount involved is 50 and A is the buyer of dollars then, the obligations of A and B are to make a payments of Rs1100 and 50 respectively at the end of one month. The contract is settled when both the parties honour their obligations on the future date. Traditionally, an overwhelming majority of Sharia scholars have disapproved such contracts on several grounds. The prohibition applies to all such contracts where the obligations of both parties are deferred to a future date, including contracts involving exchange of currencies. An important objection is that such a contract involves sale of a non-existent object or of an object not in the possession of the seller. This objection is based on several traditions of the holy prophet.14 There is difference of opinion on whether the prohibition in the said traditions apply to foodstuffs, or perishable commodities or to all objects of sale. There is, however, a general agreement on the view that the efficient cause (illa) of the prohibition of sale of an object which the seller does not own or of sale prior to taking possession is gharar, or the possible failure to deliver the goods purchased. Is this efficient cause (illa) present in an exchange involving future contracts in currencies of different countries. In a market with full and free convertibility or no constraints on the supply of currencies, the probability of failure to deliver the same on the maturity date should be no cause for concern. Further, the standardized nature of futures contracts and transparent operating procedures on the organized futures markets15 is believed to minimize this probability. Some recent scholars have opined in the light of the above that futures, in general, should be permissible. According to them, the efficient cause (illa), that is, the probability of failure to deliver was quite relevant in a simple, primitive and unorganized market. It is no longer relevant in the organized futures markets of today16. Such contention, however, continues to be rejected by the majority of scholars. They underscore the fact that futures contracts almost never involve delivery by both parties. Pelo contrário, as partes no contrato reverter a transação eo contrato é resolvido em diferença de preço apenas. For example, in the above example, if the currency exchange rate changes to 1: 23 on the maturity date, the reverse transaction for individual A would mean selling 50 at the rate of 1:23 to individual B. This would imply A making a gain of Rs50 (the difference between Rs1150 and Rs1100). This is exactly what B would lose. It may so happen that the exchange rate would change to 1:21 in which case A would lose Rs50 which is what B would gain. This obviously is a zero-sum game in which the gain of one party is exactly equal to the loss of the other. This possibility of gains or losses (which theoretically can touch infinity) encourages economic units to speculate on the future direction of exchange rates. Since exchange rates fluctuate randomly, gains and losses are random too and the game is reduced to a game of chance. There is a vast body of literature on the forecastability of exchange rates and a large majority of empirical studies have provided supporting evidence on the futility of any attempt to make short-run predictions. Exchange rates are volatile and remain unpredictable at least for the large majority of market participants. Needless to say, any attempt to speculate in the hope of the theoretically infinite gains is, in all likelihood, a game of chance for such participants. While the gains, if they materialize, are in the nature of maisir or unearned gains, the possibility of equally massive losses do indicate a possibility of default by the loser and hence, gharar. 3.3. Risk Management in Volatile Markets Hedging or risk reduction adds to planning and managerial efficiency. The economic justification of futures and forwards is in term of their role as a device for hedging. In the context of currency markets which are characterized by volatile rates, such contracts are believed to enable the parties to transfer and eliminate risk arising out of such fluctuations. For example, modifying the earlier example, assume that individual A is an exporter from India to US who has already sold some commodities to B, the US importer and anticipates a cashflow of 50 (which at the current market rate of 1:22 mean Rs 1100 to him) after one month. There is a possibility that US dollar may depreciate against Indian rupee during these one month, in which case A would realize less amount of rupees for his 50 ( if the new rate is 1:21, A would realize only Rs1050 ). Hence, A may enter into a forward or future contract to sell 50 at the rate of 1:21.5 at the end of one month (and thereby, realize Rs1075) with any counterparty which, in all probability, would have diametrically opposite expectations regarding future direction of exchange rates. In this case, A is able to hedge his position and at the same time, forgoes the opportunity of making a gain if his expectations do not materialize and US dollar appreciates against Indian rupee (say, to 1:23 which implies that he would have realized Rs1150, and not Rs1075 which he would realize now.) While hedging tools always improve planning and hence, performance, it should be noted that the intention of the contracting party whether to hedge or to speculate, can never be ascertained. It may be noted that hedging can also be accomplished with bai salam in currencies. As in the above example, exporter A anticipating a cash inflow of 50 after one month and expecting a depreciation of dollar may go for a salam sale of 50 (with his obligation to pay 50 deferred by one month.) Since he is expecting a dollar depreciation, he may agree to sell 50 at the rate of 1: 21.5. There would be an immediate cash inflow in Rs 1075 for him. The question may be, why should the counterparty pay him rupees now in lieu of a promise to be repaid in dollars after one month. As in the case of futures, the counterparty would do so for profit, if its expectations are diametrically opposite, that is, it expects dollar to appreciate. For example, if dollar appreciates to 1: 23 during the one month period, then it would receive Rs1150 for Rs 1075 it invested in the purchase of 50. Thus, while A is able to hedge its position, the counterparty is able to earn a profit on trading of currencies. The difference from the earlier scenario is that the counterparty would be more restrained in trading because of the investment required, and such trading is unlikely to take the shape of rampant speculation. 4. Summary amp Conclusion Currency markets of today are characterized by volatile exchange rates. This fact should be taken note of in any analysis of the three basic types of contracts in which the basis of distinction is the possibility of deferment of obligations to future. We have attempted an assessment of these forms of contracting in terms of the overwhelming need to eliminate any possibility of riba, minimize gharar, jahl and the possibility of speculation of a kind akin to games of chance. Em um mercado volátil, os participantes estão expostos ao risco de moeda ea racionalidade islâmica exige que esse risco seja minimizado no interesse da eficiência se não for reduzido a zero. It is obvious that spot settlement of the obligations of both parties would completely prohibit riba, and gharar, and minimize the possibility of speculation. However, this would also imply the absence of any technique of risk management and may involve some practical problems for the participants. At the other extreme, if the obligations of both the parties are deferred to a future date, then such contracting, in all likelihood, would open up the possibility of infinite unearned gains and losses from what may be rightly termed for the majority of participants as games of chance. Of course, these would also enable the participants to manage risk through complete risk transfer to others and reduce risk to zero. It is this possibility of risk reduction to zero which may enable a participant to earn riba. Future is not a new form of contract. Rather the justification for proscribing it is new. If in a simple primitive economy, it was prevention of gharar relating to delivery of the exchanged article, in todays complex financial system and organized exchanges, it is prevention of speculation of kind which is unIslamic and which is possible under excessive gharar involved in forecasting highly volatile exchange rates. Such speculation is not just a possibility, but a reality. The precise motive of an economic unit entering into a future contract speculation or hedging may not ascertainable ( regulators may monitor end use, but such regulation may not be very practical, nor effective in a free market). Empirical evidence at a macro level, however, indicates the former to be the dominant motive. The second type of contracting with deferment of obligations of one of the parties to a future date falls between the two extremes. While Sharia scholars have divergent views about its permissibility, our analysis reveals that there is no possibility of earning riba with this kind of contracting. The requirement of spot settlement of obligations of atleast one party imposes a natural curb on speculation, though the room for speculation is greater than under the first form of contracting. The requirement amounts to imposition of a hundred percent margin which, in all probability, would drive away the uninformed speculator from the market. This should force the speculator to be a little more sure of his expectations by being more informed. When speculation is based on information it is not only permissible, but desirable too. Bai salam would also enable the participants to manage risk. At the same time, the requirement of settlement from one end would dampen the tendency of many participants to seek a complete transfer of perceived risk and encourage them to make a realistic assessment of the actual risk. Notes amp References 1. These diverse views are reflected in the papers presented at the Fourth Fiqh Seminar organized by the Islamic Fiqh Academy, India in 1991 which were subsequently published in Majalla Fiqh Islami, part 4 by the Academy. The discussion on riba prohibition draws on these views. 2. Nabil Saleh, Unlawful gain and Legitimate Profit in Islamic Law, Graham and Trotman, London, 1992, p.16 3. Ibn Qudama, al-Mughni, vol.4, pp.5-9 4. Shams al Din al Sarakhsi, al-Mabsut, vol 14, pp 24-25 5. Paper presented by Abdul Azim Islahi at the Fourth Fiqh Seminar organized by Islamic Fiqh Academy, India in 1991. 6. Paper by Dr M N Siddiqui highlighting the issue was circulated among all leading Fiqh scholars by the Islamic Fiqh Academy, India for their views and was the main theme of deliberations during the session on Currency Exchange at the Fourth Fiqh Seminar held in 1991. 7. It is contended by some that the above example may be modified to show the possibility of riba with spot settlement too. In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, if an individual purchases 50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation also on a spot basis), then it amounts to the seller of dollars exchanging 50 with 55 on a spot basis (Since, he can obtain Rs 1100 now, exchange them for 55 at spot rate of 1:20) Thus, spot settlement can also be a clear source of riba. Does this imply that spot settlement should be proscribed too. The fallacy in the above and earlier examples is that there is no single contract but multiple contracts of exchange occurring at different points in time (true even in the above case). Riba can be earned only when the spot rate of 1:20 is fixed during the time interval between the transactions. This assumption is, needless to say, unrealistic and if imposed artificially, perhaps unIslamic. 8. Islam envisages a free market where prices are determined by forces of demand and supply. There should be no interference in the price formation process even by the regulators. While price control and fixation is generally accepted as unIslamic, some scholars, such as, Ibn Taimiya do admit of its permissibility. However, such permissibility is subject to the condition that price fixation is intended to combat cases of market anomalies caused by impairing the conditions of free competition. If market conditions are normal, forces of demand and supply should be allowed a free play in determination of prices. 9. Some Islamic scholars use the term forward to connote a salam sale. However, we use this term in the conventional sense where the obligations of both parties are deferred to a future date and hence, are similar to futures in this sense. The latter however, are standardized contracts and are traded on an organized Futures Exchange while the former are specific to the requirements of the buyer and seller. 10. This is known as bai al inah which is considered forbidden by almost all scholars with the exception of Imam Shafii. Followers of the same school, such as Al Nawawi do not consider it Islamically permissible. 11. It should be noted that modern finance theories also distinguish between conditions of risk and uncertainty and assert that rational decision making is possible only under conditions of risk and not under conditions of uncertainty. Conditions of risk refer to a situation where it is possible with the help of available data to estimate all possible outcomes and their corresponding probabilities, or develop the ex-ante probability distribution. Under conditions of uncertainty, no such exercise is possible. The definition of gharar, Real-life situations, of course, fall somewhere in the continuum of risk and uncertainty. 12. The following traditions underscore the need to avoid contracts involving uncertainty. Ibn Abbas reported that when Allahs prophet (pbuh) came to Medina, they were paying one and two years advance for fruits, so he said: Those who pay in advance for any thing must do so for a specified weight and for a definite time. It is reported on the authority of Ibn Umar that the Messenger of Allah (pbuh) forbade the transaction called habal al-habala whereby a man bought a she-camel which was to be the off-spring of a she-camel and which was still in its mothers womb. 13. According to a tradition reported by Abu Huraira, Allahs Messenger (pbuh) forbade a transaction determined by throwing stones, and the type which involves some uncertainty. The form of gambling most popular to Arabs was gambling by casting lots by means of arrows, on the principle of lottery, for division of carcass of slaughtered animals. The carcass was divided into unequal parts and marked arrows were drawn from a bag. One received a large or small share depending on the mark on the arrow drawn. Obviously it was a pure game of chance. 14. The holy prophet is reported to have said Do not sell what is not with you Ibn Abbas reported that the prophet said: He who buys foodstuff should not sell it until he has taken possession of it. Ibn Abbas said: I think it applies to all other things as well. 15. The Futures Exchange performs an important function of providing a guarantee for delivery by all parties to the contract. It serves as the counterparty in the exchange for both, that is, as the buyer for the sale and as the seller for the purchase. 16. M Hashim Kamali Islamic Commercial Law: An Analysis of Futures, The American Journal of Islamic Social Sciences, vol.13, no.2, 1996 Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Ferex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhan / komoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu uang yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan pena danmin perditaan negaran-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGANO NILAI MATA UANG antar negara. Perbandingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negar lainnya ini berubah (berluktuasi) setiap saat sesuai volume permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawil inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS 1. Ada Ijab-Qobul: 8212gt Ada perjanjian untuk memberi dan menerima Penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai. Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan. Pembeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakan-tindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat) 2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu: Suci barangnya (bukan najis) Dapat dimanfaatkan Dapat diserahterimakan Jelas barang dan harganya Dijual (dibeli) oleh pemiliknya sendiri atau kuasanya atas izin pemiliknya Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan. Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama. 8220Jangan kamu membeli ikan dalam ar, karena sesungguhnya jual beli eang demikian itu mengandung penipuan8221. (Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baihaqi dari Ibnu Mas8217ud) Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan dengan syarat harus diterangkan sifat-sifatnya atau ciri-cirinya. Kemudiano jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar . artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah: 8220Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya8221. Jual beli hasil tanam yang masih terpendam, seperti ketela, kentang, bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugian jika harus mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam untuk dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islão: Kesulitan itu menarik kemudahan. Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkus / tertutup, seperti makanan kalengan, LPG, dan sebagainya, asalkam diberi etiqueta yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. Cit. Hal 135. Mengenai teks kaidah hukum Islão tersebut di atas, vide Al Suyuthi, Al-Asbah al-Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55. JUAL BELI VALUTA ASSISTENTE DAN SAHAM Yang dimksud dengan valga asing adalah mata uang luar negeri seperi dolar Amerika, sterling inggris, ringgit Malásia dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya eksportir Indonésia Azerbaijão Azerbaijão Azerbaijão Azerbaijão Pedido de Propostas Aviso de pré - Dengan demikian akan timbul pena de perminataan di bursa valuta asing. Setiap, negara, berwenang, penuh, menetapkan, kurs, uangnya, masing-masing (kurs, adalah, perbandingan, nilai, uangnya, terhadap, mata uang, asing), misalnya 1 dolar Amerika Rp. 12.000. Namun kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. Pencatatan kurs uang dan transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan di Bursa Valuta Asing (A. W. J. Tupanno, et. al. Ekonomi dan Koperasi, Jakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77) Like this:

No comments:

Post a Comment